Ayam Berkotek di Pagi Nara
Sudah satu minggu Mimin tak berkotek, subuh ini pun ia masih belum mengeluarkan suaranya. Ia merenung, memikirkan nasibnya hari ini yang tidak tahu harus makan apa dan mencarinya kemana, setelah satu minggu sebelumnya ia selalu memakan sisa - sisa manusia yang dibuang ke tong sampah. Matahari malu-malu menampakkan wujudnya, nyala sinar lampu kota mulai dipadamkan, puluhan pedagang tergopoh-gopoh menuju Pasar Kota, membopong berbagai macam Badaing dagangan mereka. Mimin memperhatikan segalanya dengan perasaan sedih.
Di tengah Kota yang hingar bingar dan mulai
ramai dengan segala aktivitas manusia, Mimin sembunyi di balik gubuk karton
yang terletak di samping tong sampah Kantor Pos. Jaraknya sekitar lima ratus
meter dari pasar. Manusia terlihat ramai berlalu-lalang. Sesekali mereka menoleh
kearah Mimin. Sebagian dari mereka merasa iba, dan sebagian yang lain menatap
dengan penuh nafu untuk menangkap lalu menjualnya. Mimin merasa takut. Tak
berani timbul dari persembunyiannya. Ia hanya memunculkan kepalanya untuk
melihat kondisi jalan raya. Dilihatnya Pak Polisi sedang mengatur lalu lintas
sambil meniupkan peluit. Petugas Pos terlihat sibuk memeriksa surat dan berkas
lainnya sebelum diantar ke tempat tujuan. Tertangkap wajah Petugas Pos itu tersenyum,
juga Pak Polisi terlihat begitu semangat mengatur arus lalu lintas yang mulai
padat. Tak lama, Petugas Pos itu pun pergi mengantarkan surat dan berkas lainnya.
Sebelum jauh, Petugas Pos menghampiri Pak Polisi untuk menyapa dan berjabat
tangan.
“Selamat Pagi Pak,” sapa Petugas Pos
sembari tersenyum kepada Pak Polisi.
“Selamat Pagi, selamat bertugas Pak.” Pak
Polisi menjulurkan tangan kanannya mengajak Petugas Pos untuk bersalaman.
“Selamat bertugas.” Petugas Pos menjabat
tangan Pak Polisi lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Matahari kian tinggi. Bayang-bayang
bangunan terbentuk di jalan. Kendaraan mulai memadati jalan. Beberapa bus kota
yang berlalu-lalang telah dipadati ibu-ibu yang pergi ke Pasar, bapak-bapak
yang pergi bekerja, dan remaja lainnya yang pergi sekolah.
Di halte yang berjarak seratus meter dari
persembunyian Mimin, terdapat delapan anak berkumpul menunggu bus sekolah. Tiga
anak berseragam putih abu, dua anak berseragam putih biru, dan sisanya berseragam
putih merah. Jalan semakin ramai dengan pejalan kaki.
Satu minggu yang lalu, Mimin melarikan diri
bersama ayahnya. Ibu Mimin tak berhasil melarikan diri. Ia tertangkap kembali
oleh pemilik peternakan ayam, sehingga ia terpisah dari Mimin dan Ayah Mimin.
Namun saat melarikan diri, Mimin berlari terlalu cepat sehingga ia tak sadar
telah jauh meninggalkan ayahnya di antara kerumunan manusia. Mereka pun
terpisah berlari ke arah yang berbeda.
Mimin telah mencari ayahnya. Namun, ia tak
menemukan jejak-jejak ayahnya. Kini sudah satu minggu Mimin kehilangan sang ayah.
Ia selalu bertanya di dalam hati, apakah ayah ditangkap
oleh petugas keamanan kota? Mimin jadi takut, ia rindu pada Ayahnya. Ia
juga ingin bertemu kembali dengan Ibunya. Aku harus menemukan ayah
dan kembali menjemput ibu untuk pergi bersama-sama, batin Mimin.
Hari itu, Mimin kembali mencari ayahnya. Ia
melangkah perlahan, mengendap-endap mencari celah. Dilaluinya langkah kaki
manusia yang begitu cepat di jalan yang berliku. Kini ia harus melalui jalan
kecil yang sempit dan penuh dengan genangan airBelum sampai di Pasar Kota,
Mimin yang berlari tanpa perhatikan arah, terkejut dengan Bibo yang tiba-tiba
saja menghentikan langkah Mimin dari arah berlawanan. Bibo adalah teman Mimin.
Ia merupakan seekor ayam boiler, tubuhnya
lebih besar dari Mimin, bulunya lebih halus dan lebih terawat, berbeda dengan
Mimin yang berjenis ayam lokal pada umumnya.
“Hey Min, where are
you going? Em.. maksudku, kamu mau kemana?” tanya Bibo.
“Huh! Hampir saja jantungku copot karena
kamu mengagetkanku. Aku mau mencari ayahku,” jawab Mimin dengan wajah memelas.
“Kamu menyasar?”
“No, I’m just.. lost him.
Kupikir aku kehilangan Ayahku.”
“Bisa ku bantu?”
“Tidak perlu, lebih baik kamu pulang saja
kerumah sebelum petugas kota menjaringmu karena mengira kamu hewan liar. Aku
harus pergi ke Pasar Kota sekarang, mungkin saja ayahku terperangkap di sana,
atau disekap oleh salah satu pedagang.” Mimin meneruskan langkahnya dan
meninggalkan Bibo.
“Hey Min, be careful!
Hati-hati, temui aku kalau kamu tidak berhasil menemukan ayahmu!” teriak Bibo
pada Mimin yang telah jauh berlari.
“Baiklah Bibo,” jawab Mimin tanpa menoleh
padanya.
Mimin semakin jauh dari pandangan Bibo.
Bibo melihat langkah Mimin yang sesekali tersandung. Setelah Mimin sudah tak
lagi terlihat, Bibo pun kembali kerumah.
Sesampainya di ujung jalan kecil yang
berliku, Mimin semakin bingung, manusia yang berlalu-lalang lebih ramai. Kemana aku harus
melanjutkan langkahku? Mimin berhenti sejenak.
***
Nara—gadis delapan tahun itu sedang duduk
bersandar di kursi roda. Ia begitu menikmati pemandangan senja dari tepi
pantai. Matahari yang akan tenggelam, langit jingga, serta air laut yang mulai
surut. Hembusan angin menyentuh kulit Nara dengan lembut. Menjalar ke wajah,
dan mengibas rambut indahnya. Ia merentangkan kedua tangannya, lalu memejamkan
kedua matanya, kemudian menghirup-hembuskan napas. Ia tersenyum kemudian
membuka kedua matanya. Tidak seperti kebanyakan anak-anak sehat lainnya, sudah
lima tahun Nara harus duduk di kursi roda karena penyakit Myelitis Transversa
(Lumpuh akibat virus yang menyebabkan kelemahan pada kaki) yang dideritanya.
Selama itu juga Nara harus menjalani terapi dan pengobatan. Nara tidak bersekolah di sekolah umum, ayah dan ibunya membayar seorang Guru untuk mengajar secara khusus di rumah. Ia tidak pernah malu dengan penyakit yang dideritanya, meski kadang ia merasa iri dengan kebanyakan anak seusianya yang sehat. Kak Badai selalu memberinya semangat. Nara bersyukur memiliki ayah, ibu dan seorang kakak yang begitu menyayanginya.
“Kak Badai, kenapa Matahari selalu
tenggelam di sore hari?” tanya Nara yang masih menikmati senja bersama Kak Badai.
“Karena Bumi selalu berputar pada porosnya.
Sebenarnya Matahari tidak pernah tenggelam, Nara. Ketika di satu kota mengalami
waktu sore, maka di kota lain akan mengalami waktu pagi. Begitulah tugas
Matahari sebagai sumber cahaya utama di dunia ini. Ia adil, menerangi seluruh
Dunia secara bergantian,” jelas Kak Badai yang duduk di samping Nara.
“Oh begitu,” jawabnya sambil menganggukkan
kepala. “Itu berarti, kalau di Kota Makassar ini sore, di kota lainnya pagi.
Kalau di Kota Makassar ini malam, di kota lainnya siang. Apa begitu Kak?”
lanjut Nara.
“Ya.. kamu benar. Contoh sederhananya di
negara kita ini, Indonesia, memiliki tiga perbedaan waktu. Waktu Indonesia
bagian Badait, Waktu Indonesia bagian Tengah, dan Waktu Indonesia bagian Timur.
Nara tahu? Di tempat tinggal kita—Makassar—matahari akan segera tenggalam, jam
menunjukkan pukul lima sore, artinya di Jakarta sebagai Waktu Indonesia bagian
Badait, masih pukul empat sore, dan di Papua sebagai Waktu Indonesia bagian
Timur, sudah pukul enam sore. Di Jakarta, matahari masih bersinar terang, tapi
di Papua, matahari sudah tak lagi bersinar,” jelas Kak Badai.
“Jadi, karena bumi yang berputar, itu menyebabkan
terjadinya siang dan malam, begitu Kak Badai?”
“Betul! Kamu sudah pintar Nara. Sekarang,
sudah waktunya kita pulang.” Badai tersenyum sambil berdiri dan mengusap rambut
adiknya.
“Oke Bos! Oh iya Kak, Nara kepengin deh
pelihara hewan. Nara pengin pelihara anak ayam, menurut Kak Badai gimana?”
tanya Nara meminta pendapat. Ia terlihat penuh semangat.
“Boleh aja, nanti kita cari yang lucu ya di
Pasar,” jawab Badai sambil mendorong kursi roda Nara.
“Beneran Kak?” Nara kegirangan.
“Iya,” jawab Badai.
Badai membantu Nara untuk sampai kerumah
dengan mendorongkan kursi rodanya. Di sepanjang jalan, Badai selalu teringat
semangat adiknya setiap kali menjalani terapi. Bagaimana wajah Nara yang kecil
mungil dan manis itu saat berusaha memijakkan kedua kakinya. Ada semangat yang
begitu besar terpancar di wajahnya, namun terkadang ada juga kesedihan yang
terselimuti oleh senyumnya. Badai selalu menemukan keduanya pada wajah Nara.
Sesungguhnya, telah lama juga ia menantikan bermain sambil berlari dengan adik
satu-satunya itu. Badai berharap tahun ini adalah akhir dari pengobatan terapi
Nara.
Sudah genap lima tahun, seharusnya Nara
sudah bisa berjalan, itulah yang selalu Badai harapkan disetiap malam sebelum
tidurnya. Ia selalu memimpikan pergi ke Kebun Binatang bersama Nara, ia ingin
mengajak adiknya menonton pertunjukan sirkus hewan-hewan. Badai ingin
membahagiakan adiknya. Matahari kini terlihat setengah lingkaran di ujung kaki
langit. Angin sepoi-sepoi membuat suasana sendu di hati Badai semakin
menjadi-jadi, sedangkan Nara, dengan semangatnya melantunkan sebuah lagu yang
sering Badai nyanyikan untuknya.
Airnya turun tidak terkira,
cobalah tengok dahan dan ranting,
pohon dan kebun basah semua..
***
Mimin masih terus mencari ayahnya. Seluruh
kios pedagang di Pasar telah ia hampiri secara diam-diam. Pedagang cabai, pedagang
beras, pedagang pakaian, pedagang ikan, pedagang daging, dan pedagang ayam,
semuanya telah ia kunjungi. Namun, ia belum juga menemukan ayahnya. Mimin
terhimpit di antara para pembeli. Ia berusaha menghindar dan bersembunyi di
antara kanton-karton bahan makanan. Mimin menyelinap memasuki area kios
pedagang rempah–rempah, ia beristirahat sejenak sambil mengumpulkan tenaga
untuk keluar dari pasar kota. Tak ada pilihan lain,
aku harus kembali ke peternakan untuk menemui ibu, akan ku cari ayah bersama ibu,
pikirnya.
Mimin berlari sekuat tenaga agar tidak
ditangkap pedagang ayam. Ia kembali ke Peternakan. Terseok–seok ia berlari,
terhimpit, tersandung, jatuh, dan bangun lagi. Air matanya menetes perlahan
kemudian menjadi deras, seirama dengan kecepatan larinya, Angin menampar
wajahnya. Sepanjang berlari, wajah ayah dan ibunya lah yang ada di kedua
pelupuk matanya. Ia merindukan kebersamaan itu. Jika memang melarikan
diri adalah hal yang salah dan membuatku kehilangan ayah dan jauh dari ibu,
lebih baik aku menetap di Peternakan, meski pembeli mungkin membeliku dan
memisahkan aku dari ayah dan ibu, setidaknya aku memiliki waktu bersama dengan
mereka sebelum berpisah, batin Mimin sambil terus berlari.
***
Esok harinya Badai bersama ayahnya pergi ke
Peternakan untuk membeli beberapa anak ayam yang ingin dipelihara Nara. Adiknya
ingin sekali memiliki peternakan di halaman belakang rumah. Badai ingin
memberikan kejutan kepada adik tersayangnya. Sesampainya di Peternakan, Badai
memilih anak ayam yang begitu gesit dan penurut. Dilihatnya satu persatu anak
ayam yang ada di dalam kandang besi dengan ukuran 9 X 10 meter itu.
Mimin sudah sampai di Peternakan, ia segera
mencari sosok ibunya yang terperangkap di dalam kandang. Menyelinap, ia masuk
melewati lubang pagar yang tersembunyi di sisi kanan. Setelah berhasil masuk,
ditatapnya seluruh sisi kandang peternakan tersebut. Mimin menemukan dua ekor
ayam yang sedang bersama di sudut kiri.
“Ayaaaaaah… Ibuuuuuu….,” terik Mimin sambil
berlari kearah Ayah dan Ibunya.
Badai memilih seekor anak ayam jantan yang
sedang mematuk umpan di tangan kanannya, dan memilih seekor anak ayam betina
yang sedang berlari kearah sudut kiri.
“Di sana, Pak!” seru Badai kepada bapak peternak sambil menunjuk kearah anak ayam yang sedang berlari itu. Bapak peternak masuk kedalam kandang dan menghampiri anak ayam itu perlahan.
Di rumahnya, Nara sedang bersiap
untuk kembali menjalani terapi. Sudah satu tahun terakhir ini, Nara mengalami
kemajuan yang sangat berarti dari setiap terapinya. Hari ini ia siap untuk
memulai langkah pertamanya, hasil akhir dari terapinya adalah bila Nara yakin
ia bisa berjalan, maka ia akan kembali berjalan, itulah yang dikatakan Dokter
kepada kedua orangtuanya. Perlahan Nara memulai langkahnya, satu… dua… langkah
telah ia tapaki dibantu oleh ibunya, Nara yakin akan berjalan kembali hari ini.
Badai telah mendapatkan dua ekor anak ayam
yang diingkan adiknya. Setelah sampai di rumah, ia melihat Nara sedang berjalan
tanpa alat batu. Perlahan, langkah demi langkah Nara sudah bisa kembali
berjalan. Suster yang mengawasi terapinya selama lima tahun terlihat sangat
kagum dan bahagia. Senyum puas pun tersungging di wajahnya. Nara dan ibunya
tertawa bahagia sambil berpelukan, tangis haru hadir di antara mereka. Ibu Nara
berulang kali mengucapkan terimakasih kepada Suster. Badai dan ayahnya,
terkejut melihat pemandangan indah di hadapannya. Keduanya saling menyeka air
mata yang berjatuhan di pipi. Badai mengangkat tangan kanannya yang menenteng
box berisi anak ayam pesanan Nara. Nara tersenyum bahagia, ia menangis dan berlari
ke arah kakaknya. Diperluknya Badai dengan sangat erat.
***
Setelah satu minggu Mimin tidak berkotek,
hari ini ia kembali berkotek. Dengan penuh semangat, Mimin meniru gaya berkotek
sang ibu.
“Koteeeek… Koteeeek..,” kotek Mimin begitu
keras dan semangat.
Nara terbangun mendengar anak ayamnya
berkotek. Perlahan ia berjalan keluar dari kamarnya menuju halaman belakang
untuk memeriksa anak ayam miliknya. Perlahan ia mendekati kandang yang
dibelikan ayahnya untuk kedua anak ayam itu. Nara bahagia, ia bisa berjalan
kembali di pagi yang baru, memelihara hewan yang sangat ingin ia ternak, dan
mendengar kotekan pertama ayam peliharaannya.
“Selamat pagi Maman dan Momon.” Nara
menyapa dua anak ayam yang sedang mematuk makanan di kandangnya.
Mimin
sungguh bahagia. Ia berjanji tidak akan meninggalkan peternakan lagi. Ia tidak
akan merengek meminta pergi dari sana kepada ayah dan ibunya. Pagi ini Mimin
kembali berkotek di pagi yang baru.
Jakarta,
Juni 2016
Komentar
Posting Komentar